Rabu, 29 Oktober 2008

ASAL USUL ELITE

Asal Usul
Elite
Di beberapa referensi baik berupa buku, majalah, koran, kita sering menjumpai kata elite. Secara etimologi, istilah elite berasal dari kata latin eligere yang berarti memilih. Pada abad ke 14, istilah ini berkembang menjadi a choice of persons (orang-orang pilihan). Kemudian pada abad ke 15, dipakai untuk menyebutkan best of the best ( yang terbaik dari yang terbaik). Selanjutnya pada abad ke 18, dipakai dalam bahasa Perancis untuk menyebut sekelompok orang yang memegang posisi terkemuka dalam suatu masyarakat. Sementara itu, Amitai Etzioni mendefinisikan elite sebagai kelompok aktor yang mempunyai kekuasaan. Menurut Oxford English Dictionary, istilah elite digunakan dalam bahasa Inggris paling awal pada tahun 1823, dan kemudian mulai tersebar secara luas melalui teori-teori sosiologi tentang kelompok-kelompok elite, terutama dari hasil pemikiran Pareto. Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Bottomore, istilah elite secara umum digunakan untuk menyebut kelompok-kelompok fungsional dan pemangku jabatan yang memiliki status tinggi dalam suatu masyarakat.
Membahas masalah elite tampaknya sulit tanpa menyebutkan para pakarnya, yaitu Vilfredo Pareto (1848-1923), dan Gaetano Mosca (1858-1941). Keduanya adalah warga Itali yang telah diakui kepakarannya sebagai pemula teori elite. Sebenarnya untuk pemula teori elite lebih tepat diberikan kepada Pareto, sedangkan Gaetano Mosca yang terkenal dalam karyanya The Ruling Class lebih tepat sebagai pemula teori kelas penguasa.
Menurut Pareto, setiap masyarakat diperintah oleh sebuah elite yang komposisinya selalu berubah. Selanjutnya Pareto membagi elite itu dalam dua kelompok, yaitu kelompok elite yang memerintah dan kelompok elite yang tidak memerintah. Kedua kelompok elite itu senantiasa berebut kesempatan untuk mendapatkan porsi kekuasaan sehingga terjadilah sirkulasi elite. Setiap elite yang memerintah, menurut Pareto, hanya dapat bertahan apabila secara kontinuitas memperoleh dukungan dari masyarakat bawah. Akan tetapi sirkulasi elite akan tetap berjalan karena secara individual baik elite keturunan maupun elite yang diangkat atau ditunjuk akan mengalami kemunduran sesuai dengan waktu dan sebab-sebab biologis. Dengan kata lain, konflik itu tidak terlepas dari kondisi kemanusiaan.
Sementara Mosca dalam hal elite mengatakan, bahwa di setiap masyarakat yang berbentuk apapun senantiasa muncul dua kelas, yaitu kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang pertama sebagai kelas minoritas senantiasa melakukan semua fungsi politik, memonopoli kekuasaan dan memperoleh semua keuntungan yang timbul karena kekuasaannya, yang kadang-kadang bersifat legal, arbitrer, dan keras. Kekuasaan elite menurut Mosca adalah sebagai akibat sifat-sifat yang tak terbantahkan dari watak sosial manusia. Selanjutnya dikatakan, bahwa kelas politik yang tidak adaptatif dengan zaman tidak akan bisa mempertahankan diri. Sementara elite lain akan terbentuk dari kalangan yang diperintah, dan dengan perjalanan waktu akan mengambil alih kekuasaan meskipun dengan kekerasan. Sistem demokrasi, menurut Mosca tidak memiliki dasar substantif sebagai kekuasaan mayoritas, bahkan dianggap sebagai penyebab kemerosotan elite. Oleh karenanya semua kelompok penguasa harus mempertahankan sistem pewarisan secara turun temurun agar tetap dapat memanipulasi kekuasaannya. Akan tetapi Mosca juga menyadari, bahwa rekruitmen dari kelas mayoritas sangat dibutuhkan demi stabilitas organisasi politik.

(cuplikan dari buku judul : Elite Pribumi Bengkulu, karya Agus Setiyanto penerbit Balai Pustaka : 2001).

RIWAYAT HIDUP SINGKAT DAN PERJUANGAN IBU FATMAWATI

RIWAYAT HIDUP SINGKAT DAN PERJUANGAN
IBU FATMAWATI


I. Lahirnya Seorang Pejuang Wanita Sejati
Orang boleh beranggapan, bahwa Bengkulu masih tergolong wilayah periferal (wilayah pinggiran) yang dianggap jauh dari arus aktivitas kehidupan baik politik, ekonomi, maupun sosial budaya. Akan tetapi sejarah telah membutktikan, bahwa di Bengkulu inilah telah banyak melahirkan tokoh-tokoh patriotik yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional. Dan di Bengkulu inilah telah dilahirkan seorang anak perempuan yang ternyata dikelak kemudian hari menjadi seorang ibu negara (first lady) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Di tengah-tengah merebaknya semangat patriotik serta bergolaknya pergerakan nasional, telah lahir seorang anak perempuan yang manis, tepatnya pada hari Senin, jam 12.oo (WIB) pada tanggal 5 Februari 1923, di sebuah rumah bergandeng di kampung Pasar Malabero, Bengkulu. Oleh orang tuanya, diberilah nama Fatmawati, yang mengandung arti, Bunga Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din dan ibunya bernama Siti Chadidjah. Sebetulnya ayahnya telah menyiapkan dua nama untuk anaknya yang akan lahir, yaitu Fatmawati dan Siti Djubaidah. Namun kemudian nama Fatmawati itulah yang diambilnya. Ayahnya, Hassan Din adalah seorang Pengurus (pemimpin) organisasi Muhammadiyah cabang Bengkulu. Di samping, juga bekerja di Borsumij (Borneo - Sumatra Maatschappij), yaitu sebuah perusahaan swasta milik orang Belanda. Akan tetapi, ketika Hassan Din dihadapkan pada salah satu alternatif pilihan, beliau memilih keluar dari Borsumij, dan lebih memusatkan diri pada Muhammadiyah yang dipimpinnya. Sepasang suami-istri ini selanjutnya terlibat aktif dalam perserikatan Muhammadiyah.

II. Masa Remaja
Pada umumnya, kehidupan keluarga sangat berpengaruh terhadap masa kecil seseorang. Demikian juga Fatmawati1. Sosialisai dan Jati-diri yang Matang Di tengah merebaknya gelombang pergerakan rakyat Indonesia yang telah dibikin sadar karena ulah kaum kolonialis, telah lahir seorang anak perempuan pada tanggal 5 Februari 1923 di Bengkulu, yang diberi nama Fatmawati, yang berarti : Bungai Teratai. Ayahnya bernama Hassan Din, seorang aktivis terkemuka organisasi Muhammadiyah di Bengkulu pada zaman itu.
Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.
Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya. Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati, 1978:20-21). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja.
Bersekolah sambil berjualan untuk membantu meringankan beban orang tuanya, menunggu warung, serta berobat sendiri ke rumah sakit, merupakan bukti diri akan semangat kemandirian serta rasa percaya diri yang matang, dan untuk ukuran usia yang baru menginjak tujuh tahun itu sangat mengagumkan. Bahkan salah seorang dari keluarga ibunya sempat geleng-geleng kepala karena dibikin kagum, sambil berkata: “Tema (panggilan akrabnya) tu anak yang pemberani nian, seorang ajo nyo pai ke rumah sakit, idaknyo takut-takut jo dokter” (hlm. 23).

2. Prinsip Anti Poligami
Antara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati (Cindy Adams, 1966: 185-198). Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa emphaty terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.

3. Berjuang di tengah Api Revolusi
Setelah menikah secara wali pada bulan Juni 1943, Ibu Fatmawati segera berangkat ke Jakarta tidak sekedar untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri Bung Karno, pemimpin pejuang rakyat Indonesia, tetapi juga ikut berperan aktif, bergabung bersama para tokoh pejuang nasional lainnya untuk membela Nusa dan Bangsanya. Bahkan Bung Karno selaku pemimpin pejuang tidak ragu-ragu untuk sering meminta pendapat maupun pertimbangan mengenai langkah-langkah perjuangannya. Ketika Ibu Fatmawati ikut hadir pada Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia), dan usai menyaksikan pidatonya Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945, yang dikemudian hari dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila itu, secara reflektif beliau memprediksikan angannya: “Inilah nantinya yang akan diterima oleh majelis, dan serasa seakan Indonesia Merdeka pada hari itu sudah terwujud” (hlm. 81; Roeslan Abdulgani, 1987: 131).
Di tengah gejolaknya api revolusi, menjelang kemerdekaan (15 Agustus 1945), sekelompok pemuda pejuang bangsa yang tergabung dalam barisan PETA, telah memaksa Bung Karno dan Bung Hatta untuk segera meninggalkan kota Jakarta menuju ke Rengasdengklok. Dan dalam situasi yang kritis itu, Ibu Fatmawati dengan semangat reflektif, sambil menggendong anak pertamanya Moh.Guntur yang masih bayi, segera mengayunkan langkah juangnya mengikuti kedua tokoh pejuang bangsa bersama beberapa anggota PETA menuju Rengasdengklok.

4. Ibu Fatmawati dan Sang Saka Merah Putih
Perjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri.
Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ? Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Untuk lebih jelasnya, berikut petikan dari karya tulisan beliau yang berjudul: Catatan Kecil Bersama Bung Karno (Fatmawati, 1978: 86):
Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku.

Atas dasar petikan tersebut di atas, cukuplah jelas, bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batas-batas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia.

5. Perjuangan Ibu Fatmawati dalam Perang Gerilya
Semenjak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, gejolak api revolusi semakin membara. Meskipun mendapat rintangan keras dari bala tentara Jepang maupun tentara Sekutu, para pejuang bangsa Indonesia tetap bertekad bulat untuk tetap mempertahankan kemerdekaan bangsanya, dan tidak tidak miris sedikitpun menghadapi kaum imperialis dan kolonialis.
Oleh karena situasi keamanan di ibukota Jakarta hingga akhir tahun 1946 dianggap sangat membahayakan, maka pada tanggal 4 Januari 1946, Presiden dan Wakil Republik Indonesia memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta demi keselamatan para pemimpin bangsa maupun pemerintahan Republik Indonesia (30 Tahun Indonesia Merdeka I, 1985:79). Dan sebagai ibu negara, tentu saja Ibu Fatmawati sekeluarga ikut hijrah ke Yogya, meskipun harus melewati pagar berduri (Fatmawati, 1978: 128).
Selama di Yogya, Ibu Fatmawati tidak saja berperan sebagai pengatur rumah tangga kepresidenan yang setiap saat harus melayani dan menjamu para pejuang yang sering datang hilir mudik. Bahkan beliau tidak segan-segan pernah pergi sendiri tanpa pengawal berbelanja ke pasar (hlm.133). Di samping itu, beliau juga sering mendampingi Presiden ke daerah-daerah baik Jawa Tengah, Jawa Timur, maupun Jawa Barat, untuk memberikan wejangan-wejangan dalam rangka mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia. Dan sekali-kali, beliau dimintai langsung oleh rakyat Ceribon untuk tampil di mimbar (hlm.134).
Ketika terjadi clash II (19 Desember 1948), ibukota Yogyakarta diserang oleh tentara Belanda, Presiden dan Wakil Presiden ditawan dan selanjutnya di terbangkan ke Bangka (30 tahun Indonesia Merdeka, 1985:191-192). Sementara itu, Ibu Fatmawati sekeluarga, dan keluarga Hatta, serta beberapa menteri, ajudan, maupun sekretarisnya, diizinkan tetap tinggal di Gedung Kepresidenan Yogya sebagai tawanan. Namun tidak lama lagi, seluruh tawanan termasuk Ibu Fatmawati sekeluarga segera diusirnya. Selanjutnya Ibu Fatmawati sekeluarga pindah ke rumah kosong di Batanawarsa, dekat Kali Code. Meskipun pasukan Belanda sering mengawasi rumah yang ditempati oleh beliau, tetapi beliau masih tetap menjalin kontak dengan para pejuang yang bergerilya. Secara sembunyi-sembunyi beliau membantu mengirim perbekalan para pejuang yang bergerilya baik berupa makanan, maupun pakaian. Bahkan beliau pernah menyerahkan beberapa butir pelor yang ditemukan di halamannya untuk diserahkan kepada gerilyawan. Di samping itu, beliau juga membagikan makanan kepada para istri pejuang yang ditinggal bergerilya (hlm. 139).

6. Prinsip Tegas Anti Poligami
Meskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati-diri yang sudah lama tertanam sejak masih remaja, masih tetap merekat kuat, tidak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Kepribadiannya yang kokoh dengan dilandasi oleh kesederhaannya yang tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila dipahami melalui beberapa fakta sejarah. Misalnya, ketika beliau akan mendampingi Bung Karno melawat ke luar negeri (India dan Pakistan), beliau terpaksa harus meminjam atau dipinjami perhiasan milik istri Sekretaris Negara (hlm. 172). Hal tersebut membuktikan, bahwa kehidupan beliau sebagai Ibu Negara jelas tidak mencerminkan pola kehidupan yang glamour, tetapi justru lebih menunjukkan kesederhaan dan keprasajaan. Dan hendaknya dipahami pula, bahwa dasar peminjaman sebuah perhiasan tersebut bukanlah untuk glamour ataupun pamer, tetapi semata karena posisinya sebagai Ibu Negara yang akan bertemu dengan tuan rumah dari negera lain, maka harus saling menghormati (seperti pepatah Jawa mengatakan: “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”).
Semangat juang yang gigih dan tangguh serta ketabahan beliau yang luar biasa baik selama perang kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan pun takkan pernah pudar. Keimanan serta ketabahan beliau kembali teruji, bahkan kali ini yang mengujinya bukan siapa-siapa, melainkan presidennya sendiri, Bung Karno, suami tercinta yang dikaguminya. Suatu hari, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 (dua hari setelah beliau melahirkan anak yang kelima, yang bernama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra), tiba-tiba Bung Karno menyatakan keinginannya untuk kawin lagi. Dengan perasaan yang tabah, beliaupun menjawab: “boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orang-tua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami”(hlm. 175). Dan di tahun 1954 krisis rumah tangga beliau semakin memuncak. Demi mempertahankan harga diri dan tetap berprinsip anti poligami, maka beliau bertekad meninggalkan istana, berpisah dengan suami dan anak-anaknya yang dicintainya, meskipun Bung Karno tidak mengizinkannya untuk meninggalkan istana (hlm. 267). Sungguhlah tidak bisa kita bayangkan, betapa tulus pengabdian beliau kepada seorang suami yang sekaligus seorang presiden, dan betapa besarnya pengorbanan beliau selama masa perjuangan baik sebelum kemerdekaan maupun pasca kemederkaan bangsa Indonesia, yang kemudian harus menjalani kehidupan seorang diri, benar-benar “sepi ing pamrih”.

7. Penutup
Demikianlah paparan yang singkat dan sederhana mengenai liku-liku perjuangan Ibu Fatmawati baik semasa kecilnya di Bengkulu, maupun setelah mendampingi Bung Karno, dan terlibat secara aktif dalam perjuangan membela nusa dan bangsanya, serta rela menempuh kehidupan seorang diri demi mempertahankan sebuah prinsip dan harga diri seorang ibu.
Mengingat betapa besarnya sumbangsih dan jasa yang telah beliau abdikan kepada bangsa Indonesia, baik selama perjuangan sebelum Indonesia merdeka maupun pasca Indonesia Merdeka, maka sungguhlah bijak dan sudah sepantasnya bilamana bangsa Indonesia, dalam hal ini Pemerintah Orde Baru Republik Indonesia, melalui tangan Bapak Presiden, berkenan menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada almarhumah Ibu Fatmawati.

“Biarpun bunga teratai telah membangkai,
kenangan harumnya takkan sirna,
biarlah peristiwa itu telah terlupa,
tapi fakta tetap bicara”




DAFTAR PUSTAKA


Abdulgani, Roeslan, 1987. Indonesia Menatap Masa Depan. Jakarta: Pustaka Merdeka.

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah rakyat Indonesia (Alih bahasa: Mayor Abdul Bar Salim). Jakarta: Gunung Agung.

Croce, Benedetto, 1959. History and Chronicle, dalam The Philosophy of History in our time: An Anthology Selected, and with an Introduction and Comentary, by Hans Meyer Hoff. New York: Doubleday & Company.

Fatmawati, 1978. Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.

Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1985. 30 Tahun Indonesia Merdeka. Jakarta: PT. Citra Lamtoro Gung Persada.

FATMAWATI DALAM DUNIA KOSMOS BENGKULU

FATMAWATI DALAM DUNIA KOSMOS BENGKULU

Prolog
Sejarawan T. Ibrahim Alfian, mengawali pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Agustus 1985, dengan mengambil kalimat singkat dari Ortega, “masa lampau adalah prologue”. Totalitas pengalaman manusia di masa lampau manfaatnya amat berharga dipetik untuk dijadikan bekal menghadapi masa depan yang terentang di hadapan kita .
Sepuluh tahun kemudian, sejarawan Taufik Abdullah naik mimbar kehormatan dalam predikat pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 November 1995. “Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah,” itulah topik centralnya dengan mengutip kalimat Michael Sturner, yang agak keras. “Di negeri yang tanpa sejarah, masa depan masyarakatnya akan dikuasai oleh mereka yang menentukan isi ingatan, serta yang merumuskan konsep dan menafsirkan masa lampau” .
Rupanya, Sartono Kartodirdjo, yang juga disebut sebagai empu nya sejarawan Indonesia pun tak pernah ketinggalan dalam mencermati masalah-masalah yang bersinggungan dengan ilmu sejarah dan kesadaran sejarah. “Maka benarlah ucapan Cicero yang menyatakan, bahwa barang siapa tak kenal sejarahnya, akan tetap menjadi anak kecil”. Dengan bahasa lain, orang yang melupakan masa lampaunya, berarti telah menghilangkan mata rantai kekiniannya, dan selanjutnya akan kehilangan identitas atau jatidirinya. Oleh karena telah kehilangan jatidirinya, maka iapun terlepas dari ikatan norma-norma kehidupan kebudayaan masyarakatnya .
Dan jangan lupa, bahwa jauh sebelumnya, orang Yunani Kuno pun sempat mengeluarkan adagiumnya, “Historia Vitae Magistra” (sejarah adalah guru kehidupan). Tak hanya itu, Bung Karno juga sempat mengingatkan kita tentang “Jasmerah” (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah). Bahkan jauh sebelumnya, tepatnya di depan landsraad, Bandung pada tahun 1930, Bung Karno pernah mengajukan pidato pembelaannya yang mengandung unsur dedaktik dari kesadaran sejarah.
Andaipun kalimat-kalimat ampuh tersebut kita sepakati, mampukah kita mengatakan, bahwa kesadaran sejarah adalah sebuah titian, dan sekaligus tolak balak dalam menghadapi segala bentuk tantangan – masalah serius yang menghadang perjalanan hidup bangsa Indonesia. Tentu saja kita mampu mengatakannya, tetapi takkan mampu mewujudkannya. Atau barangkali, tepatnya, ini hanyalah sebuah wacana biasa.
Tetapi sah saja kita mengatakan, bahwa kesadaran sejarah itu amat urgen bagi perjalananan kehidupan umat manusia. Tanpa sebuah kesadaran sejarah, orang tak mampu menangkap manfaat masa lampaunya secara jernih.
Lalu, bagaimana dengan modernitasnya zaman yang kian mengglobal, menjadikan ajang pertarungan antar budaya yang cenderung sengit, dahsyat, sadis, entah apalagi kata yang pas itu itu. Terlebih pertarungan yang tak seimbang antar produk budaya lokal dengan produk budaya luar (baca: asing) dapat berakibat fatal - teralienasi, tererosi, tersingkir, atau bahkan kemudian geheel op (lenyap) ditelan zaman.
Jikalau totalitas produk kebudayaan dan sejarah masyarakat itu telah terkubur oleh arus zaman, bagaimana kita dapat menemukan kembali ? atau bahasa sejarahnya “merekonstruksi” entitas (keseluruhan) identitas - jatidiri masyarakatnya. Tentulah tidak segampang mengumpulkan mainan anak kecil yang berserakan di lantai.
Dan bilamana masyarakat telah kehilangan identitas – jatidirinya, maka sesungguhnya masyarakat tersebut telah mati suri – dengan kata lain, jasadnya ada, tetapi ruhnya terbang melayang. Atau barangkali menurut bahasa Sartono ini cukup pas, yaitu “dekulturasi”. Kata Sartono, “apabila bahaya dekulturasi menjadi sebuah realita, yang ditandai oleh kesimpang-siuran norma-norma, kemerosotan nilai yang terbawa arus modernisasi – maka diperlukan akulturasi – agar dapat membendung erosi kulturalnya” .
Lalu, bagaimana dengan tawaran alternatif yang disebut kesadaran sejarah itu sendiri? Sanggupkah, kita menjelaskan bahwa sebuah kesadaran itu biasanya muncul setelah melalui proses pengetahuan, wawasan dan pemahaman. Sebab, tanpa melalui proses pengetahuan, wawasan, dan pemahaman tentang ilmu sejarah, sulit dipercaya untuk dapat memunculkan sebuah kesadaran sejarah. Kalaupun muncul, hanyalah sebatas kesadaran sejarah yang semu.
Dengan kesadaran sejarah yang tinggi, kesalahan-kesalahan yang terjadi pada masa lampau dapat dipetik sebagai pelajaran agar tak terulang lagi. Termasuk di dalamnya kesalahan-kesalahan dalam merekonstruksi “history as past actuality” (sejarah sebagai peristiwa masa lampau). Setidaknya, kesalahan-kesalahan sejarawan yang dipaparkan oleh sejarawan Kuntowijoyo secara rinci dapat dijadikan cermin kesadaran sejarah .

Bengkulu Dalam Selintas Sejarah
Secara geografis, Bengkulu termasuk dalam kategori wilayah periferal (pinggiran). Meski masuk dalam kategori periferal, tidaklah cenderung ekslusif ataupun esoteris. Akan tetapi dalam perjalanan sejarahnya, Bengkulu justru menjadi ajang pelarian kaum migran maupun interniran dari berbagai etnis, baik etnis domestik (Bugis, Madura, Jawa, Melayu, Minang, Aceh, Bali, Nias, dan lain-lain), maupun etnis manca (Eropa, Afrika, India, Cina, Persia, Arab, dan lain-lain). Dan mereka (para migran maupun interniran) itu berlatar belakang kelas sosial yang bervariatif. Ada yang dari kelas adel (bangsawan), ambtenaar (pegawai), legger (tentara), handelaar (pedagang), hingga slaven (budak)6.
Setelah terjadi kontak sosial yang cukup intens dengan masyarakat setempat (baca : masyarakat Bengkulu), benturan sosio-kultural pun tak terelakkan. Dan benturan sosio-kultural tersebut telah membawa implikasi proses enkulturasi (pembudayaan) baik secara akulturatif maupun asimilatif dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bengkulu.
Kontak sosio-kultural yang relatif lama membuka kesempatan membangun koloni (perkampungan atau pemukiman) yang namanya sering didasarkan atas geneologis etnisnya, seperti Kampung Melayu, Kampung Kepiri, Kampung Cina, Kampung Bali, Kampung Aceh, Kampung Bugis, Kampung Jawa, dan lain-lain. Di samping itu, ada juga nama-nama tempat/wilayah menunjukan identitas etnis seperti Kerkap, Manna, Talo dan lain-lain.
Berbagai sebutan, gelar, atau jabatan seperti Pangeran, kalipa, Daing, Radin, Sultan, Pasirah, Pemangku, Pembarab, Depati, Perowatin, Penghulu, Datuk Syabandar, Puggawa Lima, dan lain-lain, yang pernah populer dalam masyarakat Bengkulu juga menunjukkan keragaman corak dari berbagai budaya masyarakatnya.
Tradisi seperti Bimbang (Gedang dan Kecil), Bimbang Malim, Bimbang Melayu, Bimbang Ulu7, Perkawinan Adat Jujur, Samendo, Tabot, dan pranata-pranata, serta bentuk-bentuk ritual yang lain, juga mewarnai keragaman budaya masyarakat Bengkulu.
Dan tentu saja berbagai ragam bahasa, sastra, kesenian, perumahan, pakaian, peralatan, serta wujud fisik lainnya (Rejang, Pasemah, Lembak, Serawai, Melayu, Muko-muko dan lain-lain)8 pun memiliki kontribusi yang sangat berharga dalam memperkaya identitas budaya masyarakat Bengkulu.
Dalam peta sejarah pun membuktikan, bahwa Bengkulu telah melahirkan tokoh-tokoh sejarah patriotik dan dedaktif yang mampu mengukir namanya di panggung sejarah Nasional, bahkan Internasional.
Salah satunya adalah Ibu Fatmawati, yang sudah mengukir namanya dalam panggung sejarah bangsa Indonesia sebagai seorang first lady (ibu negara) Republik Indonesia, dan terlibat langsung dalam sejarah perjuangan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Untuk mengenal lebih dekat latar belakang kehidupan sosio-kultural Ibu Fatmawati, kita perlu mencermati latar belakang kehidupan kebudayaan masyarakatnya, yaitu kehidupan kebudayaan masyarakat Bengkulu, khusunya dalam perspektif kosmogonis.

Fatmawati dalam Mitos Sang Putri
Dalam perspektif mitos, masyarakat tradisional Bengkulu mempercayai bahwa yang pertama kali mendiami negeri Bangkahoeloe (Bengkulu) adalah Ratu Agung, yaitu seorang raja setengah dewa dari Gunung Bungkuk yang memerintah kerajaan Sungai Serut (kerajaan yang pertama kali di Bengkulu)9
Ratu Agung mempunyai anak tujuh orang, terdiri dari enam anak laki-laki, dan satu anak perempuan. Nama keenam anak laki-laki yaitu : Radin Cili, Manuk Mincur, Lemang Batu, Rindang Papan, Tajuk Rompong, dan Anak Dalam Muara. Adapun anak perempuannya yang paling bungsu diberi nama Putri Gading Cempaka.
Selanjutnya dikisahkan, bahwa sepeninggal Ratu Agung, si bungsu Putri Gading tumbuh berkembang menjadi seorang putri yang amat cantik, namun tetap dalam kesahajaan, serta halus budi bahasanya. Kecantikan Putri Gading Cempaka yang tiada taranya itu telah menarik perhatian para raja muda yang datang berlomba-lomba untuk meminangnya.
Salah satu diantara raja muda yang jatuh hati pada kecantikan Putri Gading Cempaka adalah Pangeran Muda dari kerajaan Aceh. Oleh sebab itulah Pangeran Raja Muda dari kerajaan Aceh bersama rombongannya datang ke kerajaan Sungai Serut untuk meminang Putri Gading Cempaka.
Namun sayang kedatangan Pangeran Muda dari kerajaan Aceh yang bermaksud untuk meminang itu ditolak oleh Putri Gading Cempaka. Akibat ditolaknya pinangan tersebut, terjadilah perang hebat antara pasukan kerajaan Sungai Serut dengan pasukan kerajaan Aceh.
Kerajaan Sungai Serut diceriterakan hancur akibat peperangan dengan kerajaan Aceh. Putri Gading Cempaka bersama keenam saudara tuanya pun harus meninggalkan kerajaannya dan bersembunyi di Gunung Bungkuk.
Kerajaan Sungai Serut yang sudah hancur dan ditinggalkan oleh penguasanya, kemudian menjadi rebutan para Pasirah (Kepala Suku) Rejang. Ditengah kemuelut perebutan kekuasaan, muncullah Baginda Maharaja Sakti dari kerajaan Pagarruyung. Atas kesepakatan keempat kepala suku Rejang, Maharaja Sakti diangkat menjadi raja di negeri Bangkahoeloe. Putri Gading Cempaka dan keenam saudara tuanya dijemput dari tempat persembunyiannya di Gunung Bungkuk.
Ceritera singkatnya, Baginda Maharaja Sakti menikah dengan Putri Gadng Cempaka. Kerajaan Sungai Serut yang sudah hancur kemudian dibangun kembali oleh Baginda Maharaja Sakti, dan berganti nama Kerajaan Sungai Lemau.
Jika kita cermati, ada pola kemiripan antara kisah perjalanan hidup Fatmawati dengan mitos Putri Gading Cempaka. Dalam Tamboe Bangkahoeloe, Putri Gading Cempaka tercatat sebagai first lady (permaisuri ) Kerajaan Sungai Lemau dan sekaligus menjadi cikal bakal serta tonggak awal keberlangsungan tata kehidupan Kerajaan Sungai Lemau di negeri Bangkahoeloe (Bengkulu).Demikian halnya dengan Fatmawati yang telah tercatat dalam sejarah sebagai fisrt lady (ibu negara) Republik Indonesia.
Kepribadian, karakter, serta teguhnya pendirian yang dimiliki oleh Fatmawati juga tercermin dalam mitos Putri Gading Cempaka. Penolakan Putri Gading Cempaka terhadap pinangan seorang Pangeran Muda dari Kerajaan Aceh merupakan sebuah keberanian yang luar biasa dan jarang terjadi dalam deskripsi kehidupan kaum wanita pada umumnya khususnya dalam konteks masyarakat tradisional.
Dalam perspektif kajian wanita, khususnya pada masyarakat tradisional, kaum wanita sering diposisikan sebagai obyek penderita, pelengkap pasangan hidup yang biasa disebut dengan istilah “dapur, pupur, dan kasur” atau dengan sebutan lain yang punya pengertian sama, yaitu : “masak, macak, manak” . Akan tetapi dalam konteks kajian masyarakat tradisional Bengkulu, ternyata tidak semua memposisikan kaum wanita sebagai obyek penderita 10.
Kisah Putri Gading Cempaka meninggalkan kerajaannya bersama keenam saudaranya menuju ke Gunung Bungkuk dapat diinterpretasikan sebagai sebuah pengembaraan, petualangan, pengalaman, dan sekaligus sebagai sebuah bukti peneguhan prinsip dalam menjalani kehidupan.
Demikian halnya dengan mitos Putri Serindang Bulan. Sebuah legenda dari tanah Rejang (wilayah Rejang Lebong, Propinsi Bengkulu). Dikisahkan, bahwa Putri Serindang Bulan mampu hidup mandiri selama masa pengembaraan (pembuangan). Di ujung ceriteranya, Putri Serindang Bulan bertemu dengan Raja Inderapura. Dan akhirnya, iapun menjadi first lady (permaisuri) di Kerajaan Inderapura11.

Fatmawati dalam Tradisi Islami Bengkulu
Masuknya ajaran Islam beserta kebudayaannya pada masyarakat Bengkulu yang diperkirakan pada abad ke 16 12 telah membawa implikasi perubahan sosio-kultural masyarakatnya. “Adat bersendi syarak, syarak bersendi kitabullah” yang menjadi pedoman dalam hukum adat di Bengkulu merupakan bukti nyata adanya pengaruh kebudayaan Islam yang cukup dominan. Kuatnya tradisi Islami pada masyarakat Bengkulu dapat dilihat melalui banyaknya bangunan seperti masjid, langgar, surau di berbagai tempat perkampungan.
Kuatnya tradisi Islami pada masyarakat Bengkulu tercermin melalui gaya hidup sosok Fatmawati. Sebelum memasuki usia sekolah, Fatmawati kecil ini telah menempa diri dengan “ngaji” belajar agama (membaca dan menulis Al-qur’an) pada sore hari baik kepada datuknya (kakeknya), maupun kepada seorang guru agama, di samping membantu mengurus pekerjaan orang tuanya.
Sudah menjadi tradisi pada masyarakat Bengkulu, bahwa apabila pihak kelapa keluarga tidak sempat mengajari ngaji anaknya, maka anak tersebut diserahkan kepada seorang guru ngaji. Biasanya, penyerahannya disertai dengan seperangkat sirih, sepotong rotan, sebotol minyak tanah, dan secupak beras13.
Semangat untuk belajar agama secara ekstra terutama di Sekolah Standar Muhammadiyah masih terus dilakukan meskipun sudah mulai memasuki sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsch School) pada tahun 1930 (Fatmawati, 1978:20-21). Jadwal belajar yang padat dengan pemandangan sehari-hari selalu dijadikannya sebagai bahan ajaran bagi kehidupannya. Bahkan di usia yang masih remaja, atau kalau boleh dibilang masih anak-anak, Fatmawati telah mengalami pencerahan yang cukup matang sehingga mampu melampaui batas-batas nilai kapasitas umumnya anak remaja.
Bibit jati diri dengan prinsip yang teguh dan kokoh, disertai semangat kemandirian yang kuat telah tersemai dalam masa remaja seorang Fatmawati. Pengaruh sosialiasi melalui ajaran dan pengalaman dalam kehidupan keluarga dan lingkungan sosialnya, telah mampu membentuk karakter Fatmawati, menjadi seorang anak yang tidak sekedar patuh pada tradisinya, tetapi lebih cenderung untuk menyikapi segala bentuk potret kehidupan sosio-kulturalnya.
Antara masa sekolah dan masa perjuangan seringkali begitu akrab bergumul dalam entitas waktu. Oleh karenanya, tidaklah menyurutkan semangat bagi seorang Fatmawati ketika harus berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari rumah yang satu ke rumah yang lain, dari satu sekolah ke sekolah yang lain, mengikuti gerak langkah perjuangan ayahnya selaku pucuk pimpinan perserikatan Muhammadiyah di Bengkulu. Sebaliknya, pengalaman-pengalaman tersebut justru semakin menempa mentalitas kejuangannya. Terlebih setelah mengenal Bung Karno sebagai gurunya (yang kemudian menjadi kekasihnya), Fatmawati yang baru menginjak usia 15 tahun, telah mampu diajak dalam perbincangan dan diskusi mengenai filsafat Islam, hukum-hukum Islam, termasuk masalah gender dalam pandangan hukum Islam. Bahkan Bung Karno sendiri sebagai gurunya telah mengakui kecerdasan Fatmawati14. Karena jiwa, semangat, dan ketajaman berpikir terhadap ajaran agama Islam yang telah menempanya, serta ketajaman menyikapi fenomena sosio-kulturalnya, beliau mampu mengoperasionalisasikan fungsi rasionalitasnya sebagai pengendali dari unsur-unsur emosi yang selalu merangsang dalam setiap detik kehidupan manusia. Maka, ketika Bung Karno menyatakan keinginannya untuk memperistri beliau, meskipun secara emosional beliau juga terpikat kuat oleh Bung Karno, tetapi beliau tidaklah mudah untuk menerimanya begitu saja. Penolakan tersebut, di samping alasan-alasan yang mendasar, juga rasa emphaty terhadap sesama kaum feminis. Dan disinilah seorang Fatmawati telah matang jiwanya, meneguhkan prinsipnya untuk menolak sebuah tradisi yang bernama poligami, yang dianggap sangat tidak menguntungkan bagi kedudukan dan peranan wanita dalam kehidupan sosialnya. Bahkan kalau boleh dibilang, sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintah Republik Indonesia khususnya, bagi pegawai negeri, seorang Fatmawati telah mendahului masanya dengan tekad, sikap, dan prinsip anti poligami. Oleh karenanya, sudah sangat patutlah bagi generasi muda sekarang, khususnya kaum wanita, untuk mensyukuri, menghormati, serta meneladani, nilai-nilai perjuangan Ibu Fatmawati terutama terhadap harkat dan maratabat kaum wanita Indonesia.
Jika kita bercermin dari ceriterra-ceritera mitos yang berkembang pada masyarakat tradisional Bengkulu, kita tidak akan pernah menjumpai kisah seorang raja atau pangeran (kepala wilayah) yang memiliki permaisuri atau istri lebih dari satu. Bahkan dalam catatan sejarah disepanjang zamannya sekalipun tidak dijumpai keterangan ada seorang kepala pribumi Bengkulu yang memiliki istri lebih dari satu15. Berbeda dengan kehidupan para raja di Jawa disepanjang sejarahnya. Prinsip poligami justru sering terjadi pada kehidupan para priyayi maupun para raja di Jawa. Bahkan, ada semacam pelegitimasian secara politis, bahwa semakin banyak selir maupun gundik, semakin membuktikan kejayaan, kesaktian, pada diri seorang raja.
Satu hal lagi yang membedakan antara para priyayi ataupun para raja di Jawa dengan para kepala pribumi Melayu, khususnya Bengkulu, adalah mengenai status kekuasaannya. Jika para raja di Jawa mempunyai status sebagai raja yang feodalistis, maka sebaliknya para kepala pribumi di Bengkulu statusnya lebih demokratis.
Oleh karenanya, dalam konteks hubungan sosial yang dibangun antara pemimpin dan pengikut (dalam bahasa budaya Bengkulu, lebih dikenal dengan istilah: antara kalipah dan anak buah), lebih bersifat horizontal-oriented… hubungan yang akrab. Dengan bahasa lain, bahwa kehidupan para kepala pribumi Bengkulu juga tidak jauh berbeda dengan pola kehidupan rakyat pada umumnya. Dan tata kehidupan masyarakatnya lebih mengacu pada tata kehidupan yang sudah diatur dalam hukum adat dan hokum syariat. Oleh sebab itulah, ada peribahasa yang sudah lazim dalam masyarakat Melayu (termasuk masyarakat Bengkulu) : “hukum bersendikan adat, adat bersendikan syariat”.

Fatmawati dan Sang Merah Putih
Perjuangan bangsa Indonesia pada akhirnya telah mencapai titik kulminasi, yaitu dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur, 56 Jakarta, oleh Soekarno - Hatta atas nama bangsa Indonesia. Dan bendera Merah Putih pun segera berkibar sebagai wujud simbolis terhadap kebebasan bangsa Indonesia dalam menentukan nasibnya sendiri.
Lalu, siapakah di antara sekian ratus bahkan sekian ribu tokoh pejuang bangsa Indonesia yang telah memikirkan tentang arti sebuah bendera bagi sebuah kemerdekaan bangsa ? Dan kenyataannya selama ini belum pernah ada klaim dari salah seorang pejuang yang mengaku telah mempersiapkan sebuah bendera untuk Kemerdekaan Indonesia, kecuali Ibu Fatmawati. Untuk lebih jelasnya, berikut petikan dari karya tulisan beliau yang berjudul: Catatan Kecil Bersama Bung Karno16
Ketika akan melangkahkan kakiku keluar dari pintu terdengarlah teriakan bahwa bendera belum ada, kemudian aku berbalik mengambil bendera yang aku buat tatkala Guntur masih dalam kandungan, satu setengah tahun yang lalu. Bendera itu aku berikan pada salah seorang yang hadir di tempat di depan kamar tidurku.

Atas dasar petikan tersebut di atas, cukuplah jelas, bahwa buah refleksi pemikiran perjuangan Ibu Fatmawati ternyata telah mampu melampaui batas-batas pemikiran para pejuang bangsa pada umumnya. Karena Ibu Fatmawati telah menyiapkan bendera Merah Putih selama satu setengah tahun yang lalu. Dan di sinilah sebuah fakta telah berbicara, bahwa Ibu Fatmawati tidak sekedar berperan sebagai penjahit sebuah bendera pusaka, sebagaimana yang hanya dipahami oleh para generasi masa sekarang. Akan tetapi jiwa dan semangat juang yang telah diperankan beliau terasa sangat jauh dan sangat mendalam. Maka sungguhlah amat sulit untuk mengukur secara konkrit betapa besarnya jiwa kepahlawanan yang telah beliau sumbangkan kepada Nusa dan Bangsa Indonesia.

Prinsip Tegas Anti Poligami
Meskipun beliau sudah menjadi first ladynya Indonesia, jati-diri yang sudah lama tertanam sejak masih remaja, masih tetap merekat kuat, tidak lapuk oleh hujan, tak lekang oleh panas. Kepribadiannya yang kokoh dengan dilandasi oleh kesederhaannya yang tanpa pamrih, memang sulit untuk diterjemahkan, tetapi akan menjadi jelas bila dipahami melalui beberapa fakta sejarah. Misalnya, ketika beliau akan mendampingi Bung Karno melawat ke luar negeri (India dan Pakistan), beliau terpaksa harus meminjam atau dipinjami perhiasan milik istri Sekretaris Negara (hlm. 172). Hal tersebut membuktikan, bahwa kehidupan beliau sebagai Ibu Negara jelas tidak mencerminkan pola kehidupan yang glamour, tetapi justru lebih menunjukkan kesederhaan dan keprasajaan. Dan hendaknya dipahami pula, bahwa dasar peminjaman sebuah perhiasan tersebut bukanlah untuk glamour ataupun pamer, tetapi semata karena posisinya sebagai Ibu Negara yang akan bertemu dengan tuan rumah dari negera lain, maka harus saling menghormati (seperti pepatah Jawa mengatakan: “ajining diri saka lathi, ajining raga saka busana”).
Semangat juang yang gigih dan tangguh serta ketabahan beliau yang luar biasa baik selama perang kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan pun takkan pernah pudar. Keimanan serta ketabahan beliau kembali teruji, bahkan kali ini yang mengujinya bukan siapa-siapa, melainkan presidennya sendiri, Bung Karno, suami tercinta yang dikaguminya. Suatu hari, tepatnya pada tanggal 15 Januari 1953 (dua hari setelah beliau melahirkan anak yang kelima, yang bernama Mohammad Guruh Irianto Soekarno Putra), tiba-tiba Bung Karno menyatakan keinginannya untuk kawin lagi. Dengan perasaan yang tabah, beliaupun menjawab: “boleh saja, tapi Fat minta dikembalikan pada orang-tua. Aku tak mau dimadu dan tetap anti poligami”(hlm. 175). Dan di tahun 1954 krisis rumah tangga beliau semakin memuncak. Demi mempertahankan harga diri dan tetap berprinsip anti poligami, maka beliau bertekad meninggalkan istana, berpisah dengan suami dan anak-anaknya yang dicintainya, meskipun Bung Karno tidak mengizinkannya untuk meninggalkan istana (hlm. 267). Sungguhlah tidak bisa kita bayangkan, betapa tulus pengabdian beliau kepada seorang suami yang sekaligus seorang presiden, dan betapa besarnya pengorbanan beliau selama masa perjuangan baik sebelum kemerdekaan maupun pasca kemederkaan bangsa Indonesia, yang kemudian harus menjalani kehidupan seorang diri, benar-benar “sepi ing pamrih”.






















DAFTAR PUSTAKA

Adams, Cindy. 1966. Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (Alih bahasa: Mayor Abdul Bar Salim). Jakarta: Gunung Agung.

Abdullah, Taufik, 1995. Pengalaman, Kesadaran, dan Sejarah. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 27 November 1995.

Alfian, T. Ibrahim, 1985. Sejarah dan Permasalahan Masa Kini. Pidato pengukuhan jabatan Guru Besar Ilmu Sejarah di Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 12 Agustus 1985.

______________(ed.,). 1987. Dari Babad dan hikayat sampai Sejarah Kritis. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.

Fatmawati, 1978. Fatmawati Catatan Kecil Bersama Bung Karno. Jakarta: Sinar Harapan.

Delais. H. & Hassan, J. 1933. Tambo Bangkahoeloe. Batavia Centrum.

Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historigrafi Indonesia Suatu Alternatif. Jakarta : Gramedia.
_____________, 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Kuntowijoyo, 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya.

Pangeran Muhamad Shah, 1859. Bahoewa Inilah Asal Oesoel. Bataviaasch Genoot-schap, ML. 143, Latijn-schrift, dan ML. Arab Maleisch-schrift, gedat:

Setiyanto, Agus, 1998. Wanita dan Tradisi : Kedudukan dan Peranan Wanita dalam Sistem Perkawinan Adat Jujur di Bengkulu pada Abad XVIII-XIX. Bengkulu : Balai Penelitian Universitas Bengkulu.
______________, 2001. Elite Pribumi Bengkulu Perspektidf Sejarah Abad ke 19. Jakarta: Balai Pustaka.